Tampilkan postingan dengan label hukum undang-undang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum undang-undang. Tampilkan semua postingan

Asas Legalitas

Definisi Asas Legalitas



Asas legalitas tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP[1]. Kalau kata-katanya yang asli dalam bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi:

 "Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya".

       Perlu pula diperhatikan bahwa dengan istilah feit itu disalin orang juga dengan kata "peristiwa", karena dengan istilah feit itu meliputi baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun mengabaikan sesuatu yang diharuskan.[2]
       Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Menurut Hazewinkel-Suringa, jika suatu perbuatan (feit) yang mencocoki rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat dipidana.
       Asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin: "Nulum delictum nulla poena sine praevia legi poenali" yang dapat disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan: "Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya"[3]. Sering juga dipakai istilah Latin: "Nullum crimen sine lege stricta", yang dapat disalin kata demi kata pula dengan "Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas". Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda "Geen delict, geen straf voorafgaande strafbepaling" untuk rumusan yang pertama dan "Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling" untuk rumusan yang kedua.[4]
       Ketentuan seperti ini telah dimasukkan ke dalam Code Penal (KUHP) Prancis yang mulai berlaku 1 Maret 1994 yang menetapkan: "La loi penale es d interpretation stricte" (hukum pidana harus ditafsirkan secara ketat/strict). Ada dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan tersebut:

1. Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum dalam undang-undang pidana.

2.  Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian Bayan Buy Dyang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP.[5]

            Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian:

1.  Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang- undang.

2.     Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).

3.      Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[6]

            Menurut pendapat L. Dupont (Beginselen van behoorlijke strafrechtbedeling), peran asas legalitas berkaitan dengan seluruh perundang-undangan sebagai aspek instrumental perlindungan. konser Penerajte.
            Lebih lanjut Cleiren & Nijboer et al., mengatakan hukum pidana itu adalah hukum tertulis. Tidak seorang pun dapat dipidana berdasarkan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan tidak menciptakan hal dapat dipidana (strafbaarheid). Asas legalitas katanya berarti:

1.     Tidak ada ketentuan yang samar-samar (maksudnya bersifat karet).

2.     Tidak ada hukum kebiasaan (lex scripta).

3.     Tidak ada analogi (penafsiran ekstensif, dia hanya menerima penafsiran teologis).[7]

            Asas ini tercantum juga di dalam hukum acara pidana (Pasal 3 KUHP/ Pasal 1 RKUHAP) yang mirip dengan Pasal 1 Strafvordering (KUHAP) Belanda yang berbunyi: "Strafvordering heeft alleen plaats op de wijze, bij de wet voorzien" (hukum acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang). Dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) ketentuan perundang-undangan" (wettelijk strafhepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana. Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan Undang-Undang dan ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.[8]

            Menurut Duisterwimkel et al. jika ada perubahan perundang- undangan hukum acara pidana setelah perbuatan dilakukan, maka yang diterapkan ialah undang-undang yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan (die geldt ten tijde van zijn handelen)"). Memang hukum acara pidana tidak mempunyai ketentuan seperti Pasal 1 ayat (2) KUHP (Jika ada perubahan perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan maka yang diterapkan ialah ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa). [9]

            Akan tetapi Nico Keijzer berpendapat lain daripada D.Duisteerwinkel et al., jika ada perubahan perundang-undangan hukum acara, misalnya, dalam undang-undang baru ditentukan deoxyribonucloid acid (DNA) adalah alat bukti, maka seseorang yang melakukan perbuatan semasa deoxyribonucloid acid (DNA)  belum menjadi alat bukti dapat dipidana dengan alat bukti deoxyribonucloid acid (DNA). Alasan Nico Keijzer dan D.Schaffmeister, hukum acara pidana tidak mengatur hukum transitoir (jika ada perubahan perundang- undangan yang diterapkan yang paling menguntungkan terdakwa.) sebagaimana hukum pidana materiel.

            Menurut Hazewinkel-Suringa, pemikiran seperti terkandung dalam rumusan tersebut ditemukan juga dalam ajaran Montesque mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, bukan hakim yang menyebutkan apa yang dapat dipidana. Pembuat undang-undang menciptakan hukum. Pembuat undang-undang tidak saja menetapkan norma tetapi juga harus diumumkan sebelum perbuatan. Menurut Cleiren & Nijboer et al., asas legalitas berarti tidak ada kejahatan tanpa undang-undang, tidak ada pidana tanpa undang-undang. Hanya undang-undang yang menentukan apa yang dapat dipidana, hanya undang-undang yang menentukan pidana yang mana dan dalam keadaan apa pidana dapat diterapkan. Asas legalitas untuk melindungi hak-hak warga negara dari kesewenang-wenangan penguasa di samping wewenang pemerintah untuk menjatuhkan pidana, termasuk juga untuk melundungi hak asasi manusia.[10]


Oleh: MAAS SOBIRIN, SH., MH

                [1] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2016), hlm, 3

                [2] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hlm, 39

                [3] Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm, 19

                [4] Op Cit, hlm, 40

                [5] Op Cit, hlm, 40

 

                [6] Op Cit, hlm, 40

                [7] Op Cit, hlm, 41

                [8] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm, 61

                [9] Op Cit, hlm, 42

                [10] Munir Fuady, Hak Asasi Tersangka Pidana, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm, 100